Ilusi New Normal

Kasus penanganan Covid-19 di Indonesia sekarang ini mirip dengan kasus subprime mortgage market di US yang menyebabkan global market crash 2008. Problem utama nya dicuekin, dan di bungkus secantik mungkin sampe kasih ilusi kalo semuanya udah aman. Dan ketika problem utama nya akhirnya meledak, it’s all too late to react.

Jadi di awal tahun 2000an mortgage lenders di US bikin subprime mortgage loans untuk minjemin KPR ke orang-orang yang nggak punya aset, nggak punya kerja, nggak punya income. High risk sekali dan hampir pasti gagal bayar? Well, subprime risk nya ini digabungin ke satu instrumen yang namanya Collateralized Debt Obligation (CDO) yang isinya dicampur dengan instrumen-instrumen aman lain nya kayak government bond, US dollar, gold, dll. Dan CDO ini dapet rating A+ dari ratings agency, jadi kasih kesan aman.

Karena ratings A+, CDO jadi laku keras dan dijual belikan banyak orang dan masuk ke global financial network, dimana pemerintah berbagai negara banyak yang beli, hedge fund beli, mutual fund beli, pension fund beli, semua banks punya, insurance punya, sampai investor retail juga banyak yang beli.

High risk nya subprime mortgage secara perlahan jadi dicuekin dan dilupakan, karena udah di bungkus secantik mungkin di CDO. Tapi problem nya tetep nggak ilang, orang-orang kategori “subprime” yang minjem KPR ini tetep nggak ada uang untuk bayar, dan mayoritas jatuh tempo nya 4-5 tahun. Subprime mortgage loans mulai banyak di issue tahun 2003, jadi di tahun 2007-2008 bakal jatuh tempo. Dan by tahun 2007 CDO udah nyebar banget diseluhur dunia, ketika satu per satu subprime borrower nya mulai gagal bayar. It’s a ticking time bomb, yang akhirnya meledak collapse setahun kemudian di 2008. Global crash!

Subprime Covid

Kasus Covid-19 di Indonesia bisa masuk ke analogi subprime crash. Problem nya jelas, ada deadly virus pandemic. Tapi sama pemerintah di bungkus secantik mungkin jadi keliatan nggak bahaya. Mall buka, GBK buka, boleh CFD di sebar di beberapa titik, tempat hiburan dibuka, bioskop mau dibuka “biar happy”, tiba-tiba ada banyak “obat” abal-abal yang quick fix (jangan mau ditakut-takutin Covid, cuma tinggal pake kalung Covid aja beres, atau cuma minum jamu, atau cuma jemur matahari, minyak kayu putih, dan masih banyak lagi yang nggak ke verifikasi secara ilmu kedokteran).

Ironis nya, ketika PSBB mulai diterapkan pada bulan Maret orang-orang pada ketakutan stay at home semua, ketika penyebaran masih dibawah 100 kasus. Tapi sekarang pas udah 150 ribu – 200 ribu kasus? Kalo di subprime mortgage crisis ada CDO, di krisis kita ada yang nama nya “new normal.”

Dan pemerintah kita, yang udah terang-terangan ngaku nutup-nutupin data keadaan asli nya biar nggak “nakutin masyarakat”, berhasil mengajak banyak orang untuk menjalankan semangat “new normal new spirit.” Berawal dari kumpul aktifitas baru, kongkow makan-makan “kita kita aja” sambil lepas masker, ktemuan sebentar dan foto rame-rame pake masker dan sekali lagi tanpa masker, dan untuk yang takut di kota jadi naik gunung rame-rame nggak pake masker dan ketemu banyak orang dari luar rumah juga.

Dan semua nya di posting di social media dan kontribusi untuk kasih kesan keadaan udah A+ aman, dan ignore the fact kalo “subprime covid” nya angka nya naik terus dan nyebar makin cepet. I mean, kalo mau keluar rumah do it responsibly, jangan lepas masker sama sekali, bener-bener jaga jarak, dan just don’t post it di social media dan bantu create availability bias (info yang available di social media itu cuma postingan semua orang udah keluar-keluar dan aman).

Efek nya, yang uneducated dan ignorant nggak peduli (malah marah kalo dikasih berita-berita update Covid, “tolong jangan membuat resah”). Dan yang well-informed dan educated selalu coba cari justifikasi untuk kelakuan mereka, share berita-berita yang ngejelekin komunitas/kegiatan lain tapi ignore problems di kegiatan mereka sendiri, atau coba downplay angka official Covid sebagai hoax atau “permainan rumah sakit biar dapet duit dari pemerintah” (selalu hear say, dan belum pernah ada Bukti nya).

Dan sekali nya ada yang kena positif Covid? Mereka nggak pernah posting kalo mereka kena, cuma ngilang aja dari social media jadi nggak pernah kontribusi nunjukin kalo penularan nya ini nyata (bantu create survivorship bias, alias yang orang-orang liat di social media itu cuma yang survive aja). Dan yang sembuh, sadly bakal keluyuran dan posting-posting lagi karena it’s just their nature. Yang nggak abis pikir itu yang punya uang, banyak yang positif Covid dan mereka milih untuk isolasi mandiri di hotel tanpa mikir mereka expose pekerja cleaning service dan room service hotel tersebut.

Sementara itu, di saat angka penularan terus naik, tenaga kesehatan harus banting tulang kerja keras untuk nyembuhin orang-orang yang kelakuan nya kayak gini. Kita bukan cuma darurat Covid, tapi darurat empati juga.

Jadi nggak heran, ketika ada orang yang komen “udah enak-enak mulai normal eh dihajar lagi ditutup PSBB sama gabener.” Mereka cuma liat CDO nya, dan nggak liat subprime mortgage problem nya.

Peran pemerintah

Kalo kita liat New Zealand yang berhasil sempat clear 100 hari dari kasus covid mereka (dan sekarang tetap rendah dibawah 10), approach mereka simple: PM nya bilang ini kasus medis jadi dia nurutin 100% saran dokter dan scientist untuk solusi nya. Kalo di semua negara lain di dunia, masalah medis solusi nya dari politisi yang di politisir. Di Indonesia udah di politisir, decision making nya sengaja dibikin layer birokrasi lagi karena pemimpin nya nggak decisive dan nggak mau disalahin. Presiden lempar tanggung jawab ke gubernur, tapi gubernur harus minta ijin dulu ke kemenkes (yang di bawah presiden). Jadi menimbulkan benturan kepentingan dimana antara pusat, pemda, dan para ahli beda semua mau nya / pendapat nya.

Kayak sekarang,“tiba-tiba” PSBB mau diterapin lagi di Jakarta. Ini karena pendapat dokter dan scientist nggak didengerin dari awal, dan kebijakan pemda dan pusat lebih mikirin ekonomi harus tetep jalan dibanding short term putus penyebaran Covid nya. Dan berkat “new normal, new spirit” rakyatnya jadi ngeremehin dan di fasilitasi pula (semua dibuka, asal… Dan condition “asal” nya ini nggak di supervise). Seperti masuk ke Ancol cuma boleh terbatas, untuk social distancing, tapi dengan bodoh nya pembatasan ini menciptakan antrian panjang desel-deselan diluar gerbang Ancol dan dibiarin aja.

Jadi apakah PSBB lagi itu perlu? You damn right perlu banget. Tapi sebulan yang lalu, bukan dadakan sekarang ketika tinggal beberapa minggu lagi health care system kita bakal collapse.

Karena “mendadak PSBB” lagi itu last minute panic nya pemda DKI, di keadaan yang udah rada telat. Dan karena panic, justru PSBB yang drastis banget measures nya bisa bikin usaha-usaha mati. Kayak nggak ada planning mateng dari awal, semua serba reaktif dari liat keadaan yang uncertainty nya tinggi. Tapi kalo nggak PSBB lagi?

Ini kayak 2007 dimana financial institutions ignore problem subprime mortgage yang bentar lagi bakal default satu per satu, mengabaikan semua pihak yang udah kasih warning dari awal, dan even have the nerve untuk ngomong kenaikan market ini (yang ada andil dari property bubble karena subprime people tiba-tiba bisa beli rumah, jadi create demand) bisa berlangsung selama nya, seperti yang di claim oleh CEO Dow Chemical dan CEO Citigroup pada saat itu.

Dan di 2008 awal ketika mortgage lenders Fannie Mae dan Freddy Mac mulai collapse, regulator fail to see cause-and-effect nya yang eventually collapse nya bakal merembet seperti ini: mortgage lenders yang issue subprime mortgage – investment banks yang create CDO – all kind of funds and countries yang beli CDO nya – insurance companies yang issue insurance just in case CDO gagal – corporations yang nggak pegang CDO tapi yang credit line nya di freeze di bank mereka karena bank nya collapsing – the economies kena imbas big time.

By the time Fannie Mae dan Freddy Mac collapse, udah a little too late kayak Covid-19 udah 3000+ kasus per hari di Indonesia. Karena kalo ini kayak dinamit di film-film kartun, sumbu nya udah dinyalain dan mulai merembet jalan. Jadi ada PSBB lagi atau nggak, does it really matter at this point?

The problem is, baik di level pemerintah pusat maupun level pemda peraturan dibikin sedemikian rupa untuk menjaga bisnis dulu, baru manusia, dan nggak bisa liat jauh ke depan kalo selama virus nya masih nyebar terus, bisnis-bisnis ini bakal mati juga in the long term.

Dan ketika kita ngomong bisnis, lebih tepat nya bisnis nya orang yang ada leverage. Mall dibuka, tempat hiburan dibuka, dan kalo ada yang positif Covid? Cuma diumumin aja di berita (kayak satu toko di mall di Senayan). Ada yang positif di restoran mahal? Nggak ada tindakan. Tapi kalo ada yang positif di pasar tradisional? Pasar nya langsung di paksa tutup.

Penegakan hukum yang setengah-setengah dan diskriminasi sekali seperti ini jadi create privilege bias, kalo ini sorry to say “penyakit orang miskin.” Kalo di “klaster komunitas” ada yang kena Covid? Tracing satu komunitas dia nggak di tindak sama sekali. Tapi kalo satu warga desa ada yang kena, satu desa harus di karangtina.

Orang-orang menengah atas pada umum nya jadi gede kepala, that they’re untouchable. Sedangkan yang rakyat miskin bakal mikir ini cuma conspiracy orang kaya aja yang mau control mereka. Hasil nya, jadi socio-economic problem yang totally ignore the main problem dari awal: ada deadly virus yang terus nyebar.

The collapse

Waktu subprime mortgage market crash merembet menjadi global financial crash di tahun 2008 setelah Lehman Brothers collapse, banyak yang bingung nggak ngerti kenapa “tiba-tiba” crash dan collapse semua, kenapa tiba-tiba CDO A+ yang mereka pegang jadi worthless dan uang mereka jadi ilang.

Dari cara Covid-19 di handle sampe sekarang, dari sisi pandemi nya with 3000+ new cases setiap hari kita keliatannya tinggal tunggu waktu aja untuk healthcare system kita collapse (17 September di DKI kalo menurut para ahli, sebelum PSBB diperketat kembali), ekonomi juga kemungkinan besar akan masuk resesi, dan usaha-usaha banyak yang udah mulai tutup. Alias dengan kebijakan yang setengah-setengah tanpa bener-bener tackle problem utama nya, pemerintah bakal end up jebol di semua sisi.

Ini bakal jadi kegagalan pemerintah pusat yang nggak berani tegas decision making nya dari awal, dan kegagalan pemerintah daerah yang terlalu reaktif dan nggak ada planning yang matang juga, dimana dua instansi tersebut terlalu dengerin opini short-term lobbyist pengusaha dibanding opini long-term para ahli medis.

Dan nanti the same “CDO holders” nya Covid yang udah telen mentah-mentah ilusi “new normal” yang di create sama pemerintah dan komunitas mereka masing-masing, bakal bingung juga kenapa tiba-tiba semua collapse di sekitar mereka. And these same people bakal yang kritik pemerintah pusat dan pemda paling keras, sembari makan-makan dan ngobrol lepas masker. And they won’t see the irony kalo kelakuan mereka ini justru yang kontribusi besar ke penyebaran virus nya.